Kring.. Kring…
Bunyi telepon beberapa saat setelah sholat maghrib. Ternyata yang menelpn adalah Ibu pimpinan.. Dalam hati berkata “wah…”
“Halo, Bu..”
“Halo… Yudi bisa, kan menggantikan Ibu untuk perjalanan kunjungan ke Bali?”
(Mau nolak tapi alasannya apa, ya..??? Gak dapat dapat juga, lagi..)
“Iya, Bu. Bisa. (yah.. bablas, dah)”.
“Oke, kalau begitu siap, ya berangkat dini hari nanti jam setengah 2”.
(WHAAAAAATT?!?!?)
Kira-kira begitu dramatisasi awal mula terjadinya tour ini.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak menyukai perjalanan seperti ini. Walau judulnya kunjungan studi banding, tetap aja jalan-jalannya lebih banyak.. 😀
Jadi, berangkatlah aku ke Pulau Dewata dan tetangganya, Pulau Lombok. Tentunya tidak lupa transit di Kota Pahlawan.
Oh, iya. Tulisan kali ini kurang rapi secara kronologi karena selama perjalanan aku tidak membuat catatan yang berguna bagi penulisan blogpost ini. Jadi, aku coba tulis berdasarkan foto-foto yang ada di smartphone aja, ya.
Jadi, setelah menapak Kota Pahlawan beberapa menit, perjalanan langsung dilanjutkan ke Pulau Lombok. Kalau aku tidak salah ingat, perjalanan memakan waktu kurang dari satu jam.
Perjalanan diawali dengan makan siang di Lombok. Tidak seperti tur-tur lain yang pernah aku ikuti, makan siang kami dilaksanakan di sebuah rumah makan kecil. Mungkin Lombok belum seramai pulau lain, pikirku.
Setelah makan siang, rombongan dibawa bus menuju desa sentra pengerajin kain tenun yang bernama desa Sukarara. Nama Sukarara konon berarti suka/rela menderita. Nama itu diambil dari legenda setempat tentang wanita yang rela hidup menderita demi kekasihnya karena pernikahan yang ditentang orang tuanya.
Di perjalanan, tour guide kami menceritakan tentang tradisi pernikahan di masyarakat Lombok yang sangat rumit dan mahal. Dimulai dari “menculik” sang calon mempelai wanita, dilanjutkan dengan rapat petinggi desa, rapat keluarga, sampai dengan prosesi pernikahan. Aku jadi ingat salah satu artikel di web BBC Indonesia atau MetroTV (lupa) yang menceritakan kalau pemuda Lombok saat ini lebih memilih menikah dengan wanita yang satu desa dengannya karena alasan biaya. Hmmm.. Pantas aja, sih…
|
Toko kain tenun Sukarara |
|
Belajar alat tenun |
Di sentra pengerajin Sukarara, sepertinya tidak ada peserta tour yang membeli kain tenun Lombok. Menurut pengamatanku, rekan-rekan peserta hanya mengamati cara pembuatan kain dan juga foto-foto sana-sini. Harga kainnya itu, lho… bisa bikin kita rajin berdzikir.
Destinasi selanjutnya adalah Desa Budaya Sade. Di desa ini, konon yang paling terkenal adalah rumah tradisionalnya yang dipel menggunakan kotoran kerbau. Aku pernah melihat ini di televisi, tapi lupa acara apa. Entah apa tujuan pel kotoran kerbau ini. Apakah untuk mengeraskan lantai tanah, atau apa aku sudah lupa.
|
Lingkungan rumah desa Sade |
Tour guide desa Sade menceritakan tentang kehidupan etnik masyarakat suku Sasak di desa Sade. Yang paling unik adalah pel lantai kotoran kerbau itu. Selebihnya menurutku kurang lebih saja dengan masyarakat etnik lainnya di Indonesia.
|
Mbak nya sedang menenun |
|
Jadi tukang foto-foto.. (as usual) |
|
Tolong abaikan foto selfie saya apabila kumis dan janggut ini terlalu mengganggu Anda. |
Menjelang sore hari, bus segera membawa kami ke destinasi selanjutnya yaitu pantai Tanjung Aan. Jalan menuju pantai Tanjung Aan terbilang kecil. Menurut tour guide kami, jalan tersebut memang sengaja tidak diperlebar karena wilayah sekitar pantai telah menjadi aset salah satu hotel besar di Indonesia. Konon, hotel ini dimiliki oleh salah satu keluarga-yang walau sudah reformasi-masih meliki pengaruh besar di Indonesia.
|
Fokus pada pemandangan. Abaikan kepala itu…! |
Di perjalanan, tour guide menceritakan tentang Legenda Putri Mandalika. Putri Mandalika adalah seorang putri Raja yang mengorbankan dirinya dengan terjun di tebing pantai Kuta Lombok demi menghindari perang karena para pangeran teteangga yang memperebutkan dirinya. Sayang, kami hanya sempat berfoto sebentar di pantai itu, mungkin karena jadwal yang sangat padat.
Destinasi pertama pada hari kedua adalah pantai Senggigi. Entah seluas apa pantai Senggigi itu, karena pantai yang kami datangi tidak terlalu mirip dengan foto-foto hasil googling. Tidak banyak yang bisa aku lakukan di pantai Senggigi karena gak tau mau ngapain…
|
Malimbu |
|
Senggigi |
Perjalanan dilanjutkan ke Pura Lingsar. Pura ini terkenal karena adanya acara yang sangat menarik yaitu perang ketupat. Perang Ketupat dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat yang beragama Hindu dan Islam pada saat Lebaran Ketupat yaitu tanggal 7 Syawal pada penanggalan Hijriah.
|
Di sekitar Pura Lingsar |
|
Semacam sajen |
|
Pohon Nagasari. Konon katanya berusia ratusan tahun. |
|
Kolam tempat “mengirimkan” doa. |
Ada hal menarik di Pura Lingsar. Pura ini masih dikunjungi oleh masyarakat pemeluk agama Islam pada saat-saat tertentu. Asimilasi budaya, kata orang. Kalau kataku, sih ini namanya sinkretisme.. Hehehe..
Setelah dari Pura Lingsar, perjalanan dilanjutkan ke bandara Lombok karena kami menuju Bali. Sampai jumpa di Bali… 😀
Related Posts
Traveling